UU Kesehatan Dinilai Mengancam Perawat


Tenggarong, Kompas - Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan melarang perawat berpraktik kefarmasian di luar keahlian dan kewenangan. Apabila aturan itu diterapkan secara kaku, perawat di daerah yang tidak terjangkau dokter dan apoteker di Kalimantan Timur terancam hukuman pidana.

Demikian penilaian perawat Misran (41), terpidana kasus kefarmasian, saat dihubungi dari Kota Samarinda, Selasa (18/5). Misran adalah Kepala Puskesmas Pembantu Kualasamboja, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kaltim.

Misran divonis tiga bulan penjara dan denda Rp 2 juta oleh Pengadilan Negeri Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara, pada 11 November 2009. Perawat kelahiran Tulungagung, Jawa Timur, tahun 1969 itu dianggap terbukti membuka praktik kefarmasian di luar keahlian dan kewenangannya. Namun, Misran dirinya melakukan itu karena menganggap daerah kerjanya sulit dijangkau dokter dan apoteker. Putusan banding Pengadilan Tinggi Kaltim, bahkan, memperkuat vonis itu.

Merasa vonis itu merugikan dan mengancam perawat di daerah terpencil, ia mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Misran dan sejumlah perawat juga mengajukan uji materi UU Kesehatan kepada Mahkamah Konstitusi. Pasal itu menyebutkan, praktik kefarmasian, antara lain, meliputi pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusian obat termasuk obat daftar G, harus dilakukan oleh tenaga kesehatan berbekal keahlian dan kewenangan yang dalam penjelasan disebut tenaga kefarmasian.

”Apabila perawat menyimpan dan membeli obat itu salah. Padahal kalau tidak mengobati pasien meskipun obatnya tidak ada itu pun salah,” kata Misran.

Kepala Bidang Sumber Daya Kesehatan Dinas Kesehatan Kaltim drg Suharsono mengatakan, ada 654 perawat yang menjadi kepala puskesmas pembantu dan bertugas di daerah terpencil. ”Apabila aturan itu [UU Kesehatan] ditegakkan tanpa mempertimbangan kondisi, banyak perawat bisa dipidana,” katanya.

Secara terpisah di Jakarta, Presiden Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia Dani Pratomo, dalam jumpa pers, Selasa di Jakarta, mengatakan, pelayanan kefarmasian, termasuk pemberian obat, khususnya obat keras, harus mengikuti aturan. Obat merupakan komoditas khusus. Penyimpangan aturan mengakibatkan penyimpanan dan penyerahan obat dilakukan oleh mereka yang tidak berwenang.

”Kami berempati terhadap kasus yang dihadapi Misran, tetapi pelonggaran aturan tidak boleh terjadi. Jika obat keras dibuat lebih bebas pemberiannya, tidak ada yang mengontrol,” ujarnya.

(BRO/INE)

0 komentar:

Posting Komentar